Informasi Seputar Dakwah Islam Di Nusantara

Jejak Wayang Kulit Dalam Dakwah Islam Nusantara Tempo Dulu

Wayang kulit merupakan mahakarya milik nenek moyang Bumiputera. Wayang ibarat lambang kemajuan peradaban. Keanekaragaman jenis wayang kulit menjadi buktinya, mulai dari wayang purwa hingga beber. Cerita, bahasa, dan situasi dalam cerita wayang sering dianggap sebagai sumber kearifan lintas zaman. Sudah ada sejak zaman Hindu, Budha, dan Islam. Bahkan wayang dijadikan sebagai media info dakwah nusantara yang memiliki peran besar dalam perkembangan Islam di Nusantara.

Belum ada yang bisa menjelaskan secara detail kapan tepatnya wayang kulit masuk ke Nusantara. Ada yang mengatakan wayang kulit sudah ada sejak masa kejayaan Hindu-Budha. Ada juga yang mengungkapkan bahwa wayang sebenarnya sudah ada jauh sebelum kedatangan Hindu-Budha atau pengaruh budaya India.

Spekulasi itu diungkapkan oleh seorang ilmuwan Belanda, Jan Laurens Andries Brandes (1857-1905). Dalam pandangannya, wayang termasuk dalam sepuluh unsur budaya asli atau local genius nusantara sebelum pengaruh budaya India.

Wayang kemudian disandingkan dengan local genius lainnya. Beberapa di antaranya adalah gamelan, puisi berirama, batik, pengerjaan logam, sistem mata uang itu sendiri, teknologi perkapalan, astronomi, persawahan, dan birokrasi pemerintahan yang tertib.

Artinya wayang sudah ada sejak lama. Oleh tokoh masyarakat Jawa, wayang kulit kemudian diselipkan dengan cerita-cerita Hindu. Namun mereka tidak lupa memperkuat narasi cerita dengan karakter Jawa, mulai dari Semar, Bagong, Gareng, Petruk, Bilung dan lain-lain.

“Bukti-bukti secara meyakinkan menunjukkan bahwa wayang sudah ada jauh sebelum masuknya Islam di Indonesia. Kemungkinan bentuk wayang sesuai dengan model penggambaran manusia pada dinding candi-candi Jawa kuno. Dalam hal ini, sosok manusia tiga dimensi banyak ditemukan pada relief dinding candi, seperti Monumen Buddha Borobudur pada abad ke-9, dan Candi Hindu Prambanan pada abad ke-10.”

“Angka-angka ini sangat mewakili anatomi manusia. Biasanya postur tubuh menghadap ke depan, pakaian yang dijelaskan sesuai dengan pakaian pria dan wanita. Model representasi ini kita temukan di Jawa Tengah pada masa puncaknya sebagai pusat kekuasaan politik dan budaya. Ketika pusat kekuasaan politik dan budaya pindah ke Jawa Timur pada abad ke-11, terjadi perubahan penggambaran manusia dari bentuk tiga dimensi menjadi model dua dimensi,” kata Sumarsam dalam buku Arti Wayang dan Gamelan. : Persimpangan Persilangan Jawa, Islam, dan Global (2018).

Transformasi bentuk wayang kulit lainnya dapat dilihat dari cerita wayang yang berkembang. Umumnya, cerita wayang yang populer adalah cerita Mahabharata dan Ramayana. Energi dalang yang bercerita memiliki pengaruh besar pada cerita.

Seorang peneliti Belanda, J. Kats setuju dengan hal itu. J. Kats, yang telah mengamati 180 cerita wayang Jawa pada tahun 1923, mengungkapkan bahwa hampir 150 cerita wayang adalah cerita dari bagian akhir Pandawa dari Seri Mahabharata. Sisanya terkait dengan Ramayana, dan cerita lainnya.

Kepiawaian dalam mengelola cerita wayang menjadi bukti peran vital seorang dalang. Ia mampu membangun fantasi dalam mendongeng, menyisipkan nilai-nilai pada pesan sosial. Ia juga bisa membuat sejarah manusia dari abad ke abad tidak lurus, tidak tunggal, bahkan cenderung berubah. Inilah kunci ketenaran seorang dalang. Cerita yang disajikan tidak terduga.

“Pertunjukan wayang Jawa merupakan sarana penting untuk melestarikan dan mempertahankan warisan Hindu-Budha di Jawa yang telah mengalami proses Islamisasi. Bentuk utama wayang adalah wayang kulit. Cerita dalam wayang kulit didasarkan pada cerita kepahlawanan Hindu, Ramayana dan Bharatayuddha. Kisah-kisah Panji dan Damar Wulan, pahlawan legendaris dari masa pra-Islam, juga ditampilkan dalam wayang,” tulis MC Ricklefs dalam buku Sejarah Indonesia Modern 1200-2004 (2005).

Pada masa kejayaan Islam di Nusantara, keberadaan wayang justru meningkat. Penduduk asli saat itu tidak melihat Islam sebagai ancaman. Terutama pemeluk agama Hindu, perlahan-lahan budaya Hindu mulai dimasuki oleh unsur-unsur Islam. Justru orang Hindu tidak senang bermain. Tradisi tersebut mulai diadaptasi oleh umat Islam. Wayang kulit, salah satunya.

Setelah itu, cerita wayang kulit pun berkembang. Kisah wayang kulit yang semula dominan dalam budaya Hindu mulai dimasukkan ke dalam sastra Islam sebagai inspirasi. Cabolek, Centhini, Tajussalatin adalah beberapa contohnya. Dalam rangkaian karya sastra ini, unsur-unsur Islam terlihat mulai masuk ke dalam cerita wayang. Yang terpenting, proses akulturasi budaya memberikan bukti bahwa bumiputra selalu mengutamakan toleransi beragama.

“Masuknya Islam yang dibawa para pedagang dari pesisir pada awalnya tidak dianggap sebagai ancaman. Toleransi yang tinggi dari elit kerajaan menyebabkan lapisan bawah mudah terpengaruh oleh ajaran Islam. Kebudayaan Hindu semuanya masuk ke dalam unsur-unsur Islam, dan umat Hindu senang bahkan bangga karena kebudayaan mereka dianggap sesuai dengan Islam.”

“Misalnya seni wayang kulit mulai diselipkan cerita-cerita tentang Islam, itupun para penyebar agama Islam khususnya Wali Songo menggunakan wayang kulit sebagai tontonan info dakwah nasional. Istilahnya juga bisa berubah pelan-pelan, misalnya senjata ampuh kalimosodo (kalimasada) menjadi kalimat syahadat, dan sebagainya,” jelas Putu Setia dalam buku Bali Inflamed (2008).

Adalah Sunan Kalijaga dari Wali Songo yang lekat menggunakan wayang kulit untuk menyebarkan agama Islam ke seluruh pelosok pulau Jawa. Jasa besar Sunan Kalijaga terhadap Islam tak lain karena ia membuat kreasi baru di pentas wayang kulit. Penciptaan itu dilakukan agar seni wayang sesuai dengan selera zaman. Apalagi sebagai media info seputar dakwah. Ia juga mencoba memasukkan unsur Islam ke dalam wayang.

Misalnya, Sunan Kalijaga menjadikan Pandawa yang terdiri dari lima penegak kebenaran sebagai simbol dari Rukun Islam yang lima. Sedangkan Dharmakusuma sebagai putra Pandu adalah orang pertama yang diberi jimat yang disebut “kalimasada” alias kalimat syahadat. Bahkan sosok Bima yang selalu berdiri tegak dan kuat dilambangkan sebagai Doa. Arjuna yang suka bermeditasi diperlambat seperti puasa. Terakhir, Nakula dan Sadewa sebagai simbol zakat dan haji.

Redaksi Dakwah Digital Untuk Remaja Terkini

Identitas dan Kesalehan Millennial

Era milenial merupakan era pesatnya perkembangan teknologi digital online dan komunikasi. Sebutan milenial didapat karena inilah satu-satunya generasi yang pernah melewati milenium kedua, hal ini diperkenalkan oleh sosiolog Hungaria Karl Mannheim. Populasi pemuda muslim Indonesia sedang mengalami pergeseran tradisi yang menjelma menjadi redaksi dakwah digital. Hal seperti ini tentu mempengaruhi identitas, tradisi, agama, dan pola sosial generasi muslim saat ini. Menurut proyeksi, populasi generasi Muslim Indonesia akan meningkat karena lonjakan demografis. Apalagi mayoritas masyarakat Indonesia menganut agama Islam.

Dewasa ini kita dihadapkan pada berbagai realitas, yaitu realitas sosial dan realitas virtual. Keduanya eksis bersama dan mampu mempengaruhi corak masyarakat, tergantung realitas apa yang dominan pada generasi masyarakat saat ini. Realitas sosial lebih kepada realitas sekitar yang ditemukan oleh masyarakat. Sedangkan virtual reality dicitrakan melalui internet dan media sosial.

Kesalehan Millennial

Kecenderungan generasi remaja muslim Indonesia saat ini adalah memperhatikan isu-isu keagamaan di media sosial. Penggemar halaman redaksi dakwah digital online terkini telah berkembang pesat saat ini. Keberadaan redaksi dakwah online terbaru ini menjadi alternatif literasi Islam bagi generasi muda muslim milenial. Redaksi dakwah digital online biasanya berisi konten kitab suci yang memahami agama dengan mengacu pada Al-Qur’an dan hadits tanpa interpretasi. Konten yang dikemas dengan video merupakan strategi ustadz dalam berdakwah untuk remaja. Strategi ini diawali dengan pengembangan media baru (new media) dimana generasi milenial lebih menyukai hal-hal yang berbasis digital. Tak jarang kita mendapati mereka mengidolakan ustadz media sosial atau yang akrab disapa kiai selebriti ketimbang kiai temporer. Ustadz celeb diminati karena selalu hadir memberikan ilmu keislaman melalui ruang digital mereka. Sehingga memicu sikap fanatisme dan pemahaman toleransi muslim millennial saat ini.

Tentu situasi ini memberikan makna moralitas dan ketakwaan bagi generasi milenial. Ada berbagai alasan generasi muslim milenial lebih memilih dakwah digital. Ia merasa dakwah online lebih fleksibel dan efektif dimanapun berada, meski tidak di tempat ibadah (masjid). Mereka cenderung menonton dakwah online di media sosial dan kemudian membagikannya kepada pengikutnya (pengikut media sosial). Mereka juga mengidolakan ustad yang terkenal di media sosial.

Hibrida Identitas Muslim Millennial

Identitas hibrida yang dimaksud adalah keberadaan identitas sebagai hasil persilangan afiliasi dan orientasi agama berdasarkan dinamika dan interaksi sosial-politik-keagamaan yang mempengaruhi mereka dalam lingkungan sosialnya. Inilah yang melahirkan identitas baru. Hasil penelitian CSRC, Pusat Pengkajian Islam (PPIM) UIN Jakarta, Convey Indonesia, bekerjasama dengan UNDP tentang hibridisasi identitas pemuda Muslim, menyimpulkan bahwa penanda paling dominan pemuda Muslim saat ini adalah mengalami fenomena yang disebut hibridisasi identitas. Hibridisasi identitas Muslim milenial dipengaruhi oleh pengalaman yang mereka dapatkan dari masa remaja hingga kuliah.

Hasil penelitian menemukan adanya hibridisasi identitas sosial-keagamaan di kalangan muslim milenial. Pada awalnya pemuda ini adalah seorang aktivis yang gigih memperjuangkan penegakan hukum Islam melalui organisasi Panitia Persiapan Penegakan Hukum Islam (KPPSI), dan berbagai organisasi sejenis lainnya di Bulukumba dan wilayah Sulawesi Selatan pada umumnya. . Namun, perjuangannya melenceng dari konteks setelah tokoh-tokoh elit lokal di pemerintahan yang mengusung jargon-jargon tersebut tersingkir. Ketika pemimpin yang menyandang syariat Islam kalah dalam kontestasi politik lokal karena tidak mendapatkan respon yang memadai dari konstituennya di daerah. Aktivis yang dulu berperan aktif dalam organisasi gerakan syariah Islam, kini harus mengubah arah karena dukungan terhadap hal ini tidak memadai. Karena itu, mereka lebih memilih bekerja di bidang pemberdayaan masyarakat yang tidak menyentuh persoalan agama. Di sisi lain, fenomena ini memberikan kecenderungan positif dalam arti adanya keterbukaan pikiran untuk menerima nilai-nilai baru tanpa meninggalkan landasan sosial-keagamaan.

Literasi Muslim Millennial

Ada yang berubah, ada yang bertahan. Karena waktu tidak bisa dilawan, itulah kutipan dari penyair terkemuka Indonesia, Chairil Anwar. Di era modernisasi saat ini, terjadi transformasi pola dakwah di masyarakat, khususnya generasi remaja milenial. Membaca buku atau mendapatkan informasi tidak hanya melalui buku cetak tetapi juga perubahan pada media Smartphone yang mampu menyediakan bahan bacaan versi elektronik. Dalam riset yang dirilis tim dari UIN Sunan Kalijaga, CONVEY Indonesia, Pusat Kajian Islam (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah, dan UNDP, mereka menemukan bahwa generasi milenial Muslim lebih tertarik dengan redaksi dakwah digital. Generasi Muslim milenial saat ini lebih suka mengakses ilmu keislaman dari karya-karya yang ditulis oleh penulis Muslim Indonesia yang sesuai dengan ide-ide Islam dan kemudian mengemasnya menjadi tulisan, novel, dan komik populer. Tak sedikit bahkan mengakses sumber lain melalui Facebook, Instagram, line, YouTube, WhatsApp, dan situs bacaan lainnya. Ini memberikan pola baru produksi bacaan dari versi cetak ke versi digital.

Muslim Milenial dan Masa Depan Agama

Pergeseran pola pola keberagamaan umat Islam generasi milenial berpengaruh besar terhadap masa depan agama, khususnya Islam. Dalam situasi ini mereka harus berhadapan dengan Islamisme yang menawarkan harapan untuk perubahan. Agama telah menjadi narasi yang sensitif untuk membentuk konstruksi sosial di masyarakat dan generasi muda saat ini. Dengan demikian, ada ketertarikan pada sesuatu yang sakral yang berorientasi ketuhanan dibandingkan dengan hubungan yang profan.

Berita Dakwah Nasional Mudah Di Dapatkan Di Sosial Media

Saat ini kita hidup di era informasi dimana penggunaan internet dan media sosial menjadi yang terdepan. Media sosial sangat berkontribusi dalam kehidupan digital dan mempengaruhi komunikasi digital, karena kemampuannya menghilangkan hambatan manusia dalam bersosialisasi dan berkembang melampaui batas ruang dan waktu. Pada dasarnya, itu sudah mendarah daging dalam hidup kita dan telah mengubah cara kita hidup; dari cara kita bekerja dan belajar hingga cara kita berinteraksi dan bermain. Sebuah laporan yang diterbitkan oleh We Are Social dan Hootsuite pada tahun 2021 mengungkapkan bahwa teknologi yang terhubung menjadi bagian yang lebih penting dari kehidupan orang-orang selama setahun terakhir. Disebutkan bahwa ada total 4,2 miliar pengguna media sosial aktif pada tahun 2021, terhitung 53,6 persen dari populasi global. Hal ini diperkuat dengan peningkatan jumlah pengguna media sosial global sebesar 490 juta. Kita dapat menyimpulkan bahwa media sosial akan terus memainkan peran utama dalam kehidupan setiap orang.

Media sosial adalah alat komunikasi yang kuat dan media penting untuk berbagi dan menyebarkan informasi. Karena faktor-faktor ini, kami telah melihat individu dan bisnis mengoptimalkannya karena berbagai alasan: untuk memamerkan merek mereka, untuk meningkatkan eksposur digital, dan untuk memperluas penjualan dan audiens. Belakangan ini, para guru agama secara global dan lokal juga ikut-ikutan dan memanfaatkan media sosial untuk santri berdakwah dan mengajarkan ilmu agama; dasarnya untuk menyebarkan news redaksi dakwah (ajakan atau seruan untuk memeluk Islam). Beberapa contoh penting di arena global termasuk Nouman Ali Khan dari Bayyinah Institute dan Omar Suleiman dari Yaqeen Institute. Lebih dekat ke pantai kami, kami memiliki Ustaz Zahid Zin dan Ustaz Mizi Wahid, antara lain. Yang kemudian menimbulkan pertanyaan, apakah media sosial merupakan platform yang tepat untuk menyebarkan dakwah untuk remaja? Apakah memiliki peran dalam menyebarkan berita dakwah nasional?

Sebelum kita mendalami pertanyaan-pertanyaan ini, mari kita coba memahami peran asatizah di Singapura. Asatizah, bentuk jamak dari ustaz atau ustazah dalam bahasa Arab, menurut definisi, adalah pengkhotbah agama Islam. Sejalan dengan itu, mereka adalah komunikator Islam yang berperan menyebarkan risalah Islam, mendidik masyarakat dan menyeru mereka kepada agama. Ini semua selaras dengan istilah dakwah yang secara umum berarti menyeru dan mengajak. Selanjutnya, dalam memilih mode komunikasi, seseorang harus bergantung pada media tertentu selama waktu tertentu. Jika kita melihat ke masa lalu, asatizah terkemuka seperti Ustaz Syed Abdillah al-Jufri dan Ustaz Ahmad Sonhadji biasa berkontribusi dalam penyebaran agama dengan menyebarkan di media tradisional dan massa, menulis buku dan sastra. Dengan kemajuan teknologi dan munculnya media baru, asatizah masa kini perlu lebih kreatif dan fleksibel dalam melibatkan masyarakat dengan mengintegrasikan dakwah digital dengan media sosial dan memanfaatkan alat dan platform tersebut. Akibatnya, muncul pertanyaan apakah iman dan teknologi benar-benar dapat saling melengkapi.

Tentu saja, itu mungkin, dan dengan banyak keuntungan juga. Pertama, media sosial membantu dengan jangkauan yang lebih luas dan komunikasi yang efektif. Ini dianggap sebagai media tercepat untuk menyebarkan pesan karena kekuatannya untuk menjangkau khalayak massa. Asatizah bisa saja memiliki konten terbaik, kefasihan dan kemahiran dalam bahasa, tetapi jika pesan tidak menjangkau massa, maka usaha dan bakat mereka semua akan sia-sia. Jika media sosial dan jaringan digunakan, mereka tidak hanya dapat membangun nama mereka, mereka juga dapat memanfaatkan segmen komunitas yang berbeda serta kelompok usia yang berbeda. Mereka dapat membangun pemahaman tentang karakteristik pengguna media dan minat mereka, yang pada akhirnya akan menguntungkan mereka dan masyarakat luas.

Selanjutnya, penggunaan media sosial tidak terbatas pada individu, tetapi juga meluas ke organisasi keagamaan. Ini sangat penting jika organisasi seperti masjid dan penyedia pendidikan Islam ingin menjangkau dan menggalang dukungan dari komunitas yang lebih luas di luar mereka yang sering berkunjung. Ini terbukti lebih kritis selama pandemi COVID-19, terutama selama periode Circuit Breaker, di mana, karena penguncian, masjid dan organisasi keagamaan lainnya harus melampaui pendekatan tradisional majelis fisik, layanan, dan kelas dengan memilih digital. sarana dan memanfaatkan media sosial. Hasilnya, mereka mampu mengatasi keterbatasan dalam menyediakan layanan esensial dan kelas agama.

Kedua, media sosial membantu membangun koneksi dan hubungan. Asatizah yang bisa berempati dan yang isinya beresonansi dengan massa akan mampu membangun kepercayaan dan dukungan. Ini semua akan berkontribusi pada pengembangan dan peningkatan masyarakat. Selain itu, orang-orang sangat menghargai jika mereka memiliki seseorang yang dapat langsung mereka rujuk untuk masalah atau masalah tanpa menghadapi penilaian apa pun, yang meningkatkan pentingnya memiliki asatizah di ranah digital. Sebagai contoh, Ustazah Liyana Musfirah dianggap sebagai salah satu pelopor asatizah untuk aktif di ruang digital. Karena sikap pribadinya yang menyegarkan terhadap ajaran Islam, dia menarik perhatian banyak pengikutnya di media sosial yang sering merasa mereka dapat berhubungan dengannya. Setelah itu, ia memulai Jaringan Musfirah Liyana pada tahun 2017 untuk terhubung secara fisik dan virtual dengan orang-orang dan membantu mereka melewati saat-saat yang menantang.

Terakhir, media sosial dapat membantu menjaga komunitas dari ideologi radikal. Di hari dan waktu ini, orang-orang, terutama kaum muda, rentan dan terpapar pada keyakinan dan ideologi ekstrem dan eksklusif secara online. Untuk mencegah mereka mencari di internet untuk hal-hal keagamaan dengan cara yang serampangan dan tidak terarah, asatizah perlu mengikuti perkembangan media digital dan memiliki kehadiran yang kuat secara online. Salah satu contoh yang baik adalah Asatizah Youth Network (AYN), sekelompok asatizah milenial Singapura yang bertujuan untuk terlibat dan terhubung dengan komunitas Muslim. Mereka dilatih untuk menangani berbagai topik, mulai dari menanamkan literasi informasi secara online dan menunjukkan kebaikan kepada orang lain, hingga merayakan keragaman dan mengadvokasi hidup berdampingan secara damai. Secara keseluruhan, mereka memberikan garis pertama yang terpercaya dan dapat diandalkan untuk memandu mereka yang mencari jawaban. Oleh karena itu, kita dapat melihat pentingnya memiliki asatizah di dunia digital dan mengisi media sosial dengan konten sosial-keagamaan yang sesuai dengan Singapura, untuk meniadakan konten berbahaya yang dapat menyesatkan masyarakat.

Dengan itu dikatakan, ada beberapa peringatan yang harus disorot. Dengan kedudukan dan asatizah yang tinggi di masyarakat, terutama di dunia maya, mereka tidak boleh menggunakan media sosial untuk menyebarkan maksiat, informasi yang salah, dan kebingungan. Mereka juga perlu bertanggung jawab dan memastikan bahwa pengetahuan dan informasi yang mereka bagikan dapat diandalkan dan kredibel. Akhirnya, sebisa mungkin, mereka perlu menjaga citra dan ketakwaan mereka, dan mematuhi etika dan nilai-nilai Islam.

Kesimpulannya, komunikasi di masa sekarang tidak hanya terbatas pada interaksi tatap muka, tetapi juga terjalin dalam ruang virtual pertunangan melalui platform media sosial. Oleh karena itu, bagi individu dan organisasi keagamaan untuk berkomunikasi secara efisien dan efektif kepada masyarakat, yang terbaik adalah memanfaatkan media sosial untuk misi santri dakwah untuk remaja mereka.

Modernitas telah memberi kita konektivitas yang belum pernah terjadi sebelumnya sejauh kita dapat menghubungkan keluarga dari ujung dunia yang berlawanan hanya dengan satu sentuhan. Tanpa disadari, modernitas juga telah mengubah konektivitas ini menjadi sesuatu yang cair di mana kita terus-menerus terhubung dengan dunia tanpa memiliki kemampuan untuk fokus pada satu emosi. Kami telah dikondisikan untuk melihat dunia dengan cepat sehingga kami dapat mengikuti perkembangan terkini dan terus-menerus ditekan untuk bernegosiasi di antara antinomi. Itu berasal dari ketakutan bahwa kurangnya informasi akan membuat kita mubazir dan kehilangan haknya dari masyarakat yang lebih luas. Pada akhirnya, kita dibombardir dengan kelimpahan informasi yang telah menembus setiap aspek kehidupan kita, mulai dari papan iklan yang tidak dapat dilewatkan hingga pemberitahuan yang tak terhitung jumlahnya di perangkat seluler kita.

Terlihat jelas perkembangan dakwah untuk remaja terus berbeda perkembangannya mengikuti zamannya. Dari awalnya dakwah remaja disampaikan melalui wayang, sampai dengan di dunia yang serba digital dewasa ini redaksi dakwah digital online terkini bisa di lihat di smartphone Anda. News redaksi dakwah sudah mudah di dapatkan saat ini semakin berkembangnya teknologi yang ada.

Redaksi dakwah online merupakan dakwah alternatif melalui media internet untuk memudahkan penggunanya. Redaksi dakwah digital memberikan kemudahan bagi penggunanya untuk mengetahui tentang Islam sekaligus memperluas jangkauan dakwahnya. Fenomena ini terintegrasi karena sejalan dengan perkembangan zaman. Kegiatan dakwah online ini digagas oleh beberapa komunitas, salah satunya komunitas kajian Islam yang aktif berdakwah melalui media virtual. Selain itu, Indonesia merupakan salah satu negara yang terkena dampak wabah Corona-19 yang mengharuskan masyarakat untuk menjaga jarak sosial dengan tetap berada di rumah dan beraktivitas di rumah. Dengan adanya aturan social distance dari pemerintah, para khatib dan masyarakat tidak menghadiri pengajian yang biasanya digelar secara rutin.

Namun media virtual telah memberikan kemudahan bagi para dai untuk dapat menyiarkan ilmu keislaman melalui beberapa media virtual misalnya melalui web, Youtube dan media sosial. Pengkhotbah dapat dengan mudah membuat email dan kemudian akun, mereka dapat dengan mudah membuat pesan propaganda. Siaran video pendek bertema Islami, materi keislaman terupdate dapat diakses melalui blog atau website dari para da’i serta melalui akun media sosial dari para santri dakwah.

Redaksidakwah

Pintu Dakwah Dan Berita Islam

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *